Hidup Tak Layak Dijalani

by

I may not have been sure about what really did interest me, but I was absolutely sure about what didn't.” ― Albert Camus, The Stranger.

***

Ketika ia sudah pergi, aku kembali menemukan ketenangan. Aku lelah sekali dan kujatuhkan diriku ke tempat tidur. Kukira aku tertidur, karena aku terbangun dengan bintang-bintang di depan wajahku. Suara-suara dari perdusunan naik sampai kepadaku. Bau-bau malam, tanah, dan garam, menyegarkan keningku kembali. Kedamaian yang menakjubkan dari musim panas yang tertidur itu merasuk ke dalam diriku seperti air pasang. Pada saat itu, pada batas malam, sirine-sirine meraung. Bunyinya menandai keberangkatan ke dunia yang sejak itu tak pernah lagi tak acuh kepadaku. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku memikirkan Ibu. Kurasa aku mengerti mengapa pada akhir hidupnya ia mengambil seorang “tunangan”, mengapa ia bermain untuk memulai kembali. Juga di sana, di sekitar panti wreda, di mana hidup padam, sore hari terasa seperti saat istirahat yang rawan. Pada saat-saat menjelang kematian, Ibu pasti merasa terbebas dan siap menghidupkan semuanya kembali. Tak seorang pun, tak seorang pun berhak menangisi Ibu. Dan aku, aku juga merasa siap untuk hidup kembali. Seakan-akan kemarahan yang luar biasa itu telah mencuci diriku dari kejahatan, mengosongkan diriku dari harapan. Di hadapan malam yang penuh dengan tanda dan bintang itu, untuk pertama kali aku membuka diriku pada ketakacuhan lembut dunia ini. karena setelah merasakan bahwa ia begitu sama denganku, dan akhirnya begitu bersaudara, aku merasa bahwa aku telah berbahagia, dan masih demikian adanya. Supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakan cercaan-cercaan.



*Diambil dari paragraf terakhir novel “The Stranger” karya Albert Camus (1942). Edisi terjemahannya pernah diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada 2013, dengan judul “Orang Asing”. Novel ini sering saya baca ulang pada tengah malam, ketika tak tahu harus berbuat apa.