Interstellar: Bukan yang Terbaik dari Nolan

by


Interstellar bukanlah karya terbaik Christopher Nolan, tetapi film ini tetap layak untuk ditonton.

Jujur saja, sebelum menyaksikan Interstellar, saya membayangkan film ini akan mirip-mirip dengan karya klasik Stanley Kubrick yang berjudul 2001: A Space Odyssey. Saya membayangkan adanya visualisasi luar angkasa yang indah, tata suara yang menggelegar, komputer supercerdas, alur yang lambat, fragmen-fragmen yang sulit dimengerti dan multitafsir seperti dalam film keluaran tahun 1968 tersebut. Apalagi saya juga membaca di sejumlah artikel bahwa Nolan sendiri mengakui bahwa ada beberapa hal dari 2001: A Space Odyssey yang menginspirasi Interstellar. Setelah menyaksikan keseluruhan film, beberapa dugaan saya memang ada benarnya juga.

Pada dasarnya, film ini bercerita tentang upaya manusia bertahan hidup dari wabah yang menyerang sumber makanan pokok mereka. Belum lagi ada badai pasir atau debu yang membuat manusia semakin frustrasi dan mencoba menemukan solusi dengan mencari planet baru yang layak huni bagi umat manusia.

Seperti yang kita ketahui, tak ada planet di sistem tata surya selain Bumi yang dapat menyokong adanya kehidupan. Untuk itulah, para ilmuwan NASA mencoba kemungkinan baru yakni dengan mencari planet di luar tata surya dan galaksi Bima Sakti. Namun, bagaimana caranya?

Ternyata, para ilmuwan yang dipimpin oleh Profesor Brand (Michael Caine) menemukan sebuah lubang cacing (wormhole) di dekat planet Saturnus. Menurut para fisikawan, wormhole adalah sebuah jalan pintas untuk melintasi ruang dan waktu. Wormhole itulah yang kemudian bisa menjadi jembatan menuju galaksi lain dan karenanya misi penjelajahan antargalaksi pun diusulkan.

Untuk menjalankan misi berbahaya tersebut, tentu dibutuhkan seorang pilot NASA yang berpengalaman. Namun, pada kenyataannya, dalam kondisi itu hanya ada Cooper (Matthew McConaughey) yang telah beralih profesi menjadi petani. NASA agak kesulitan membujuk Cooper untuk menjadi pilot kembali karena ia sendiri tidak mau berpisah dengan putrinya, Murphy (Jessica Chastain).

Namun, pada akhirnya Cooper menyetujui ajakan tersebut karena memang tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan Bumi. Ia pun bergabung dengan tiga awak lainnya: Amelia Brand (Anna Hathaway), Romilly (David Gyasi), dan Doyle (Wes Bentley), serta dua buah robot cerdas bernama TARS dan CASE.

Dalam misi tersebut, Cooper dan kawan-kawannya hanya memiliki dua pilihan: temukan planet yang layak dan kemudian kembali ke Bumi, atau lupakan Bumi dan buat koloni baru di planet yang ditemukan.

Seperti yang telah disinggung di atas, memang ada beberapa kemiripan antara Interstellar dengan 2001: A Space Odyssey, terutama dari segi visual. Anda bisa membayangkan luar angkasa versi Gravity, tetapi Interstellar memiliki skena yang lebih indah. Visualisasi ini juga didukung dengan tata suara dari Hans Zimmer sehingga ketika misalnya Cooper dkk. sedang memasuki sebuah planet atau melintasi wormhole, ada efek yang mendorong penonton untuk menahan napas dan, barangkali seperti saya, menjadi sedikit merinding. Tanpa ada tata suara dari komposer yang juga membuat scoring untuk The Dark Knight tersebut, mungkin film ini akan menjadi sedikit membosankan.

Visualisasi dan tata suara adalah keunggulan dari Interstellar. Dua hal tersebut berhasil menutupi cerita yang bagi saya tidak terlalu istimewa. Dibandingkan dengan Memento atau Inception, cerita dalam Interstellar cenderung sederhana dan mudah dipahami. Selama menonton, memang ada beberapa bagian yang membuat kita bertanya-tanya “ini sebenarnya apa?” atau “ini maksudnya apa?”.

Begitu juga dengan twist yang tidak serumit film-film Nolan sebelumnya. Ini yang membuat saya agak kecewa. Dalam dunia drama Yunani kuno, anda mungkin mengenal istilah deus ex machina. Istilah ini mengacu pada ending atau solusi penyelesaian masalah yang dibuat ‘sedapatnya’ agar pertunjukan bisa segera diakhiri. Hal inilah yang mengganjal pada Interstellar. Nolan seperti mengalami kebuntuan di ujung film sehingga cenderung memaksakan akhiran film dan tentu membuatnya agak tidak masuk akal. Adalah hal yang sangat disayangkan mengingat film ini berdurasi hampir tiga jam.

Walau begitu, Anda tak perlu ragu menyempatkan diri ke bioskop untuk menonton film ini. Di luar beberapa kekurangannya, ada kepuasan tersendiri setelah selesai menyaksikan Interstellar. Entah itu karena fakta bahwa film ini digarap oleh seorang Christopher Nolan yang kadung dipuja sebagai salah satu sutradara terbaik dunia atau apa, saya sendiri sulit menjelaskannya. Yang pasti ini mengobati rasa penasaran saya yang rindu dengan film-film arahan sutradara yang karya terakhirnya—The Dark Knight Rises—memukau banyak penggemar film di seantero dunia.



*Tulisan ini pernah diterbitkan di Jakartabeat, 8 November 2014. Silahkan cek Interstellar: Bukan yang Terbaik dari Nolan.