Ernest
by Unknown
Ernest Douwes Dekker masih punya
hubungan keluarga dengan Eduard Douwes Dekker, sang penulis buku Max Havelaar. Douwes Dekker yang disebut
terakhir—yang juga dikenal dengan nama pena Multatuli—adalah adik dari kakek
Ernest Douwes Dekker. Keduanya sama-sama anti penjajah Belanda. Sama-sama benci
penindasan dan diskriminasi dari kaum kolonialis. Pena Multatuli sangat tajam
ketika mengkritik pemerintah kolonial lewat tulisan yang dibuatnya. Begitu juga
Ernest.
Tujuan hidup Ernest seperti sudah tertulis
jelas: melenyapkan ketidakadilan sosial yang diderita oleh rakyat kecil,
khususnya kaum pribumi. Ia menganggap semua itu bisa hilang ketika kaum pribumi
diberi kepercayaan untuk menentukan nasibnya sendiri. Dengan kata lain, Belanda
harus enyah dari tanah Hindia atau Indonesia. Ia juga menyerukan kepada kaum
Indo alias keturunan Belanda, agar bersatu dengan pribumi, karena kaum Indo
juga mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah Hindia Belanda yang
sebagian besarnya dikuasai orang-orang yang murni berdarah Belanda.
Diskriminasi menjadi kata yang sangat
dibenci oleh Ernest. Sebagai seorang Indo, ia sering melihat kaumnya dianggap
sebagai warga negara nomor dua oleh pemerintah, di bawah orang-orang Belanda.
Maka dari itu, daripada sia-sia mengaku sebagai orang Eropa tapi selalu
direndahkan, ia lebih suka jika kaum Indo bergabung dengan pribumi yang
sama-sama mendapat perlakuan tidak adil, malah lebih parah. Ia tentu berpikir
dengan akal sehatnya: keturunan Belanda saja masih mendapat diskriminasi, apalagi
orang-orang pribumi yang sebenarnya lebih berhak hidup layak di tanah
kelahirannya sendiri.
Apa yang diperjuangkan oleh Ernest, saya
kira bukan semata-mata mempersoalkan persamaan Belanda, Indo dan Pribumi, namun
lebih luas lagi. Ia menginginkan adanya kesetaraan di tanah Hindia. Bahwa semua
yang hidup di Hindia, ras, agama, atau suku apa pun, priyayi atau bukan, punya
hak dan keistimewaan yang sama di mata hukum dan negara. Maka itulah dalam
salah satu pasal di anggaran dasar Indische Partij—organisasi progresif yang
didirikannya pada September 1912—tercantum upaya melawan kebencian antaragama,
suku dan juga ras.
Inilah yang membedakan Indische Partij
dengan organisasi-organisasi pergerakan yang banyak didirikan pada saat itu.
Boedi Oetomo tidak bisa diharapkan karena hanya jadi ajang kumpul-kumpul para
priyayi Jawa. Sarekat Islam walau radikal terhadap pemerintah, namun dari
namanya saja tidak mencerminkan persatuan dari seluruh kalangan di Hindia.
Indische Partij berbeda. Mereka tidak ambil pusing dengan identitas kelompok.
Mereka malah menawarkan sesuatu yang membikin takut pemerintah kolonial:
persatuan dari seluruh ras, suku dan agama yang ada di tanah Hindia.
Hasilnya, Indische Partij tidak berumur
panjang. Pasal dua dalam anggaran dasarnya meyakinkan Gubernur Jenderal Idenburg
untuk segera membubarkan partai politik pertama di Indonesia tersebut. Pasal yang
sulit diterima pemerintah itu berbunyi: “Tujuan dari Indische Partij adalah
membangkitkan rasa patriotisme orang Hindia untuk tanah yang memberinya
kehidupan, yang mendorongnya untuk bekerjasama atas dasar persamaan hak politik
nasional untuk mengembangkan tanah air Hindia ini, dan untuk mempersiapkan
sebuah kehidupan bangsa yang merdeka.”
Indische Partij memiliki media resmi
yang bernama De Expres. Secara
bergantian, Ernest, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soeryjaningrat menulis
di koran tersebut. Koran ini menjadi ujung tombak Ernest dan kawan-kawannya
dalam mengkritik penjajahan Belanda. Melalui koran ini, esai-esai legendaris
seperti: Als ik Nederlander was (Suwardi),
Kekuatan atau Ketakutan (Tjipto), Satu buat Semua, tetapi Semua buat Satu
(Suwardi) dan Pahlawan kita: Tjipto
Mangoenkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ernest) disebarluaskan dan semakin
mengobarkan semangat radikalisme di kalangan aktivis pergerakan. Ketiga manusia
radikal tersebut sukses membuat panas kuping pemerintah kolonial Belanda.
Ketiganya kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Belakangan Gubernur Jenderal
Idenburg mengasingkan tiga serangkai tersebut ke negeri Belanda. Indische
Partij juga menjadi organisasi terlarang.
Sepulangnya dari pengasingan, Si
Bangsat—julukan yang diberikan oleh para tokoh politik di Belanda kepada Ernest—masih
bersemangat untuk melancarkan aksi-aksinya dalam menentang pemerintah. Di
Polanharjo, Klaten contohnya, Ia ditangkap lagi karena dituduh menghasut
ratusan buruh yang mogok menuntut upah layak. Namun berkat bantuan dan
pembelaan dari para buruh, pengadilan terpaksa membebaskan Ernest karena dianggap
tidak cukup bukti.
Selain dengan partai politik,
tulisan-tulisan tajam, pemogokan dan lain sebagainya, bentuk perlawanan lainnya
yang ia lakukan adalah dengan melalui pendidikan. Pada 1924 ia mengubah sebuah
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO (setingkat sekolah menengah pertama)
menjadi yayasan bernama Schoolvereeniging Het Ksatrian Instituut, atau biasa
disebut Ksatrian Instituut. Para pendiri yayasan tersebut ternyata banyak yang
bekas pentolan Indische Partij. Ksatrian Instituut pun kemudian dijadikan oleh
Ernest dan istrinya, Johanna Petronella, sebagai tempat untuk mengajarkan
pentingnya kemerdekaan Indonesia. Ernest sendiri pernah menulis: “Yang
terpenting di dalam sekolahku ialah adanya rasa harga diri manusia dan
kepercayaan terhadap diri sendiri, berbeda dengan sekolah-sekolah penjajah.”
Perjuangan Ernest untuk memperbaiki
nasib rakyat ternyata membuat kagum presiden Indonesia pertama, Sukarno. Keduanya
dekat saat Sukarno menjadi pengajar di Ksatrian Instituut. Melalui berbagai
diskusi, kedua “Bapak Bangsa” ini banyak bertukar pikiran soal politik dan
pergerakan. Ernest—panggilan akrab dari Sukarno—terpesona dengan Sukarno. Kusno—panggilan
dari Ernest—juga menganggap Ernest sebagai gurunya. Hal ini diakui sendiri oleh
Sukarno dalam pidatonya di depan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
pada Desember 1966: “Aku bersyukur bisa mereguk air nasionalisme dari Tjipto
Mangoenkoesoemo, dari Ernest Douwes Dekker. Aku bersyukur, dari merekalah aku
mendapat pengajaran.”
Rujukan:
·
Tempo. 2012. Douwes Dekker: Sang Inspirator Revolusi. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
·
Rahzen, Taufik., et. al. 2007. Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia.
Jakarta: I:BOEKOE.